Selasa, 15 Februari 2011


Bona Paputungan – Andai Aku Gayus Tambunan

Bona Paputungan
Intro: G Gm G Gm
Gm              F#      Bm
Sebelas maret diriku masuk penjara
Bm        Em           Cm                 Gm
Awalku menjalani… proses masa tahanan
Dm   Gm                   Dm           Bm   Em  Bm
Hidup dipenjara sangat berat kurasakan
F#m  Em      G           Cm        F#m        Dm
Badanku kurus karena beban pikiran
Em     Gm       Em                D        Bm
Kita orang yang lemah tak punya daya apa apa
Bm   Dm         C     Em         C     Em    Dm
Tak bisa berbuat banyak seperti para koruptor
Chorus:
Gm               G              Bm            D  Bm
Andai ku gayus tambunan yang bisa pergi ke bali
D    Cm             C         Em         Gm
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
G        Gm Bm Gm          D         Bm
Lucunya dinegeri ini……. hukuman bisa dibeli
D    Cm          Em       Cm      C  Em   Em Gm G
Kita orang yang lemah pasrah akan keadaan
Am       Gm    Bm               D Bm
Tujuh oktober ku bebas dari penjara
D    C              Em    C                Em Gm
Menghirup udara segar… lepaskan penderitaan
Gm                      Bm
Wahai saudara dan para sahabatku
D     C    Em     Cm   C      Em     D         Dm
Lakukan yang terbaik jangan engkau salah arah
Chorus:
Gm               G              Bm            D  Bm
Andai ku gayus tambunan yang bisa pergi ke bali
D    Cm             C         Em         Gm
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
G        Gm Bm Gm          D         Bm
Lucunya dinegeri ini……. hukuman bisa dibeli
D    Cm          Em       Cm      C  Em   Em Gm G
Kita orang yang lemah pasrah akan keadaan
Gm    Bm        D Dm
Biarlah semua menjadi kenangan
F#     Cm   Em  Cm     Em     Dm       D  F# Dm
kenangan yang pahit… dalam hidup ini





http://www.liriklagu.info/b/bona-paputungan-andai-aku-gayus-tambunan.html

haji


 
Memahami  makna  ibadah  haji,  membutuhkan  pemahaman  secara
khusus    sejarah   Nabi   Ibrahim   dan   ajarannya,   karena
praktek-praktek   ritual   ibadah   ini    dikaitkan    dengan
pengalaman-pengalaman  yang  dialami  Nabi Ibrahim as. bersama
keluarga beliau.  Ibrahim  as.  dikenal  sebagai  "Bapak  para
Nabi",  juga  "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan
Ilahi" kepada beliaulah merujuk  agama-agama  samawi  terbesar
selama ini.
 
Para  ilmuwan  seringkali  berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah
kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,
 
"Penemuan  yang  dikaitkan  dengan  Nabi Ibrahim as. merupakan
penemuan manusia yang terbesar dan yang  tak  dapat  diabaikan
para  ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan
penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom  betapa
pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu
dikuasai manusia, sedangkan penemuan  Ibrahim  menguasai  jiwa
dan  raga  manusia.  Penemuan  Ibrahim menjadikan manusia yang
tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam,  serta
menilai  baik  buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya
berlaku  sewenang-wenang,  tapi  kesewenang-wenangan  ini  tak
mungkin  dilakukannya  selama  penemuan  Ibrahim as. itu tetap
menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan  dengan  apa
yang   diketahui   dan   tak  diketahuinya,  berkaitan  dengan
kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk  ini  dengan
Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."
 
"Kepastian" yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan
tata kerja alam ini, tak dapat  diperolehnya  kecuali  melalui
keyakinan  tentang  ajaran  Bapak  monotheisme itu, karena apa
yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali  Tuhan  ini
yang  mengaturnya  dan di lain kali tuhan itu? Dengan demikian
monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar  hakikat  keagamaan  yang
besar,  tapi  sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga
lebih tepat, lebih  teliti  lagi,  lebih  meyakinkan.  Apalagi
Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku,
bangsa  atau  golongan  tertentu  manusia,  tapi  Tuhan   seru
sekalian  alam,  Tuhan  yang imanen sekaligus transenden, yang
dekat  dengan   manusia,   menyertai   mereka   semua   secara
keseluruhan  dan  orang per orang, sendirian atau ketika dalam
kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga,  pada
saat  kehidupannya,  bahkan  sebelum dan sesudah kehidupan dan
kematiannya.  Bukannya  Tuhan   yang   sifat-sifat-Nya   hanya
monopoli  pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat
dihubungi  mereka,  tapi  Tuhan  manusia   seluruhuya   secara
universal.
 
Ajaran   Ibrahim   as.   atau  "penemuan"  beliau  benar-benar
merupakan suatu lembaran baru dalam  sejarah  kepercayaan  dan
bagi  kemanusiaan,  walaupun  tauhid  bukan  sesuatu  yang tak
dikenal sebelum masa beliau,  demikian  pula  keadilan  Tuhan,
serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua
sampai  masa  Ibrahim  bukan  merupakan  ajaran  kenabian  dan
risalah  seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah
dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan,  serta  persamaan  antara
sesama  manusia,  tapi  itu  merupakan  dekrit dari singgasana
kekuasaan  yang  kemudian  dibatalkan  oleh  dekrit   penguasa
sesudahnya.
 
Ibrahim    datang   mengumandangkan   keadilan   Ilahi,   yang
mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun
kuatnya  seseorang.  Ia  tetap  sama  di  hadapan Tuhan dengan
seseorang yang paling lemah sekali  pun,  karena  kekuatan  si
kuat  diperoleh  dari  pada-Nya,  sedangkan kelemahan si lemah
adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut  atau
menganugerahkan  kekuatan  itu  pada  siapa saja sesuai dengan
sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.
 
Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan
menyangkut  pandangan  tentang manusia dan kemanusiaan, antara
kebolehan memberi sesajen  yang  dikorbankan  berupa  manusia,
atau  ketidakbolehannya  dengan  alasan  bahwa  manusia adalah
makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara  amaliah
dan  tegas  larangan  tersebut dilakukan, bukan karena manusia
terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar  untuk  dikorbankan
atau  berkorban,  tapi  karena  Tuhan  Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.   Putranya   Ismail   diperintahkan   Tuhan   untuk
dikorbankan,  sebagai  pertanda bahwa apa pun --bila panggilan
telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah.  Setelah
perintah  tersebut  dilaksanakan  sepenuh  hati  oleh ayah dan
anak, Tuhan  dengan  kekuasaan-Nya  menghalangi  penyembelihan
tersebut  dan  menggantikannya  dengan  domba sebagai pertanda
bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek
pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
 
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian
dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya  dan  hal
ini  secara  agamis  atau  Qur'ani  terbukti  bukan saja dalam
penemuannya  tentang  keesaan  Tuhan   seru   sekalian   alam,
sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An'am 6:75, tapi juga dalam
keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik  untuk  diketahui
bahwa  beliaulah  satu-satunya  Nabi  yang  disebut  al-Qur'an
meminta  pada  Tuhan  untuk  diperlihatkan  bagaimana  caranya
menghidupkan  yang  mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan
Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260).
 
Demikian  sebagian  kecil  dari  keistimewaan  Nabi   Ibrahim,
sehingga  wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia,
seperti   ditegaskan   al-Qur'an   surah   al-Baqarah   2:127.
Keteladanan  tersebut  antara  lain  diwujudkan  dalam  bentuk
ibadah haji dengan  berkunjung  ke  Makkah,  karena  beliaulah
bersama    putranya    Ismail    yang    membangun   (kembali)
fondasi-fondasi Ka'bah  (QS.  al-Baqarah  2:127),  dan  beliau
pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari'at haji
(QS. al-Haj 22:27). Keteladanan yang diwujudkan  dalam  bentuk
ibadah  tersebut  dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan
dengan  peristiwa  yang  beliau  dan  keluarga   alami,   pada
hakikataya  merupakan  penegasan  kembali  dari  setiap jamaah
haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip  keyakinan
yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,
 
 1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala
    macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung,
    bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain
    dari Allah swt.
 
 2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam
    kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap
    makhluk pada hari kebangkitan kelak.
 
 3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal,
    tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya,
    betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal
    lainnya.
 
Ketiga  inti  ajaran   ini   tercermin   dengan   jelas   atau
dilambangkan  dalam  praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam.
Tulisan  ini  akan  menitikberatkan  uraian  menyangkut  butir
ketiga,  walau  pun  disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan
dan ketundukan semua makhluk di bawah  pengawasan,  pengaturan
dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia
menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan,
manusia  dalam  pandangan al-Qur'an, sama dari segi ini dengan
makhluk-makhluk  lain,  karena  walau  pun  manusia   memiliki
kemampuan  menggunakan  makhluk-makhluk  lain, namun kemampuan
tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat  penundukan
Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang
terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.
 
Keyakinan akan keesaan  Tuhan  juga  mengantar  manusia  untuk
menyadari,  bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari
segi nilai kemanusiaan, karena  semua  mereka  diciptakan  dan
berada  di  bawah  kekuasaan  Allah  swt.  QS.  al-Hujurat  13
menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan  akan  keesaan
Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
 
Ibadah  haji  dikumandangkan  Ibrahim  as.  sekitar 3600 tahun
lalu. Sesudah masa  beliau,  praktek-prakteknya  sedikit  atau
banyak  telah  mengalami  perubahan, namun kemudian diluruskan
kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu,
adalah  praktek  ritual  yang  bertentangan dengan penghayatan
nilai universal kemanusiaan haji. Al-Qur'an  Surah  al-Baqarah
2:199,  menegur  sekelompok  manusia (yang dikenal dengan nama
al-Hummas) yang merasa  diri  memiliki  keistimewaan  sehingga
enggan  bersatu  dengan  orang  banyak  dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang  orang  banyak  di  Arafah.
Pemisahan  diri  yang  dilatarbelakangi  perasaan superioritas
dicegah oleh al-Qur'an  dan  turunlah  ayat  tersebut  diatas.
"Bertolaklah  kamu  dari tempat bertolaknya orang-orang banyak
dan  mohonlah  ampun  kepada  Allah  sesungguhnya  Allah  Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
 
Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan
thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari  ajaran
Ibrahim   dalam   rangka   mempererat  persaudaraan  dan  rasa
persamaan. Namun yang pasti  Nabi  saw  membatalkannya,  bukan
dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi
karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.
 
Salah satu bukti yang jelas tentang  keterkaitan  ibadah  haji
dengan  nilai-nilai  kemanusiaan  adalah  isi khutbah Nabi saw
pada haji wada' (haji  perpisahan)  yang  intinya  menekankan:
Persamaan;  keharusan  memelihara  jiwa,  harta dan kehormatan
orang lain; dan larangan melakukan penindasan  atau  pemerasan
terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
 
Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
 
Makna  kemanusiaan  dan  pengalaman  nilai-nilainya  tak hanya
terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan  dengan  yang
lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar
persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai  luhur
yang   seharusnya  menghiasi  jiwa  pemiliknya.  Bermula  dari
kesadaran  akan  fitrah  atau  jati  dirinya  serta  keharusan
menyesuaikan  diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri  Adam  menyadari  arah  yang
dituju  serta  perjuangan  mencapainya. Kemanusiaan menjadikan
makhluk  ini  memiliki  moral  serta   berkemampuan   memimpin
makhluk-makhluk  lain  mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan
mengantarnya menyadari bahwa ia  adalah  makhluk  dwi  dimensi
yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk  sosial
yang  tak  dapat  hidup  sendirian  dan harus bertenggang rasa
dalam berinteraksi.
 
Makna-makna tersebut  dipraktekkan  dalam  pelaksanaan  ibadah
haji,  dalam  acara-acara  ritual,  atau  dalam  tuntunan  non
ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam  bentuk
nyata  atau  simbolik  dan  kesemuanya pada akhirnya mengantar
jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan
universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di
antaranya.
 
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat  sambil  menanggalkan
pakaian   biasa   dan  mengenakan  pakaian  ihram.  Tak  dapat
disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga  menurut
al-Qur'an  berfungsi  sebagai  pembeda  antara  seseorang atau
sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat  mengantar
kepada  perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian
juga dapat memberi pengaruh  psikologis  pada  pemakainya.  Di
Miqat  Makany  di  tempat  dimana  ritual ibadah haji dimulai,
perbedaan dan pembedaan  tersebut  harus  ditanggalkan.  Semua
harus  memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis
dari pakaian harus ditanggalkan,  hingga  semua  merasa  dalam
satu  kesatuan  dan  persamaan.  "Di Miqat ini ada pun ras dan
sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan  sehari-hari
sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan),
tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan
tipu   daya),  atau  domba  (yang  melambangkan  penghambaan).
Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai  manusia
yang sesungguhnya. [2]
 
Di   Miqat   dengan  mengenakan  dua  helai  pakaian  berwarna
putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia
mengakhiri   perjalanan  hidup  di  dunia  ini,  seorang  yang
melaksanakan ibadah  haji  akan  atau  seharusnya  dipengaruhi
jiwanya  oleh  pakaian  ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan
dan  keterbatasannya,  serta  pertanggungjawaban   yang   akan
ditunaikannya  kelak  di  hadapan  Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang  lain,
kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
 
Kedua,   dengan  dikenakannya  pakaian  ihram,  maka  sejumlah
larangan harus diindahkan oleh  pelaku  ibadah  haji.  Seperti
jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan
darah, jangan  mencabut  pepohonan.  Mengapa?  Karena  manusia
berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya
kesempatan  seluas  mungkin  mencapai  tujuan   penciptaannya.
Dilarang  juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin,
dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa  manusia  bukan
hanya  materi  semata-mata  bukan  pula  birahi.  Hiasan  yang
dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula  menggunting
rambut,  kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan
menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
 
Ketiga, Ka'bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang  amat
berharga  dari  segi  kemanusiaan.  Di  sana misalnya ada Hijr
Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail
putra  Ibrahim,  pembangun  Ka'bah  ini  pernah  berada  dalan
pangkuan Ibunya yang  bernama  Hajar,  seorang  wanita  hitam,
miskin  bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu,
namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau
peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa
Allah swt  memberi  kedudukan  untuk  seseorang  bukan  karena
keturunan  atau  status  sosialnya,  tapi  karena kedekatannya
kepada  Allah  swt  dan  usahanya  untuk  menjadi  hajar  atau
berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan
menuju peradaban.
 
Keempat, setelah  selesai  melakukan  thawaf  yang  menjadikan
pelakunya  larut  dan  berbaur  bersama  manusia-manusia lain,
serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan  yang  sama
yakni  berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa'i. Di
sini  muncul  lagi  Hajar,   budak   wanita   bersahaja   yang
diperistrikan  Nabi  Ibrahim  itu,  diperagakan  pengalamannya
mencari  air  untuk  putranya.  Keyakinan  wanita   ini   akan
kebesaran  dan  kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti
jauh sebelum peristiwa pencaharian  ini,  ketika  ia  bersedia
ditinggal  (Ibrahim)  bersama  anaknya  di  suatu  lembah yang
tandus,  keyakinannya  yang  begitu  dalam  tak  menjadikannya
samasekali  berpangku  tangan  menunggu  turunnya  hujan  dari
langit,   tapi   ia   berusaha   dan   berusaha   berkali-kali
mondar-mandir  demi  mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya
dari bukit Shafa yang arti  harfiahnya  adalah  "kesucian  dan
ketegaran"  [3]  --sebagai  lambang  bahwa  mencapai kehidupan
harus  dengan  usaha  yang   dimulai   dengan   kesucian   dan
ketegaran--   dan  berakhir  di  Marwah  yang  berarti  "ideal
manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan  memaafkan  orang
lain" [4].
 
Adakah  makna  yang  lebih  agung  berkaitan dengan pengamalan
kemanusiaan   dalam   mencari   kehidupan   duniawi   melebihi
makna-makna   yang   digambarkan   di   atas?   Kalau   thawaf
menggambarkan larutnya dan meleburnya  manusia  dalam  hadirat
Ilahi,  atau  dalam  istilah  kaum sufi al-fana' fi Allah maka
sai' menggambarkan usaha  manusia  mencari  hidup  --yang  ini
dilakukan  begitu  selesai  thawaf--  yang  melambangkan bahwa
kehidupan dunia  dan  akhirat  merupakan  suatu  kesatuan  dan
keterpaduan.  Maka  dengan  thawaf  disadarilah  tujuan  hidup
manusia.   Setengah   kesadaran   itu   dimulai   sa'i    yang
menggambarkan,   tugas   manusia  adalah  berupaya  semaksimal
mungkin.  Hasil  usaha  pasti  akan  diperoleh  baik   melalui
usahanya  maupun  melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami
Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya  air  Zamzam
itu.
 
Kelima,  di  Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh
jamaah  wuquf  (berhenti)  sampai  terbenamnya  matahari.   Di
sanalah   mereka  seharusnya  menemukan  ma'rifat  pengetahuan
sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya,  serta
di  sana  pula  ia  menyadari  langkah-langkahnya  selama ini,
sebagaimana ia menyadari pula betapa  besar  dan  agung  Tuhan
yang   kepadaNya   bersimpuh   seluruh   makhluk,  sebagaimana
diperagakan    secara    miniatur    di    padang    tersebut.
Kesadaran-kesadaran  itulah  yang  mengantarkannya  di  padang
'arafah  untuk  menjadi  'arif  atau  sadar  dan   mengetahui.
Kearifan  apabila  telah  menghias  seseorang, maka Anda akan,
menurut Ibnu  Sina,  "Selalu  gembira,  senyum,  betapa  tidak
senang  hatinya  telah  gembira  sejak ia mengenal-Nya, ... di
mana-mana ia melihat satu saja, ...  melihat  Yang  Maha  Suci
itu,  semua  makhluk  di  pandangnya sama (karena memang semua
sama, ... sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip
kelemahan  atau  mencari-cari  kesalahan  orang, ia tidak akan
cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun  karena
jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
 
Keenam,  dari  Arafah  para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan
senjata  menghadapi  musuh   utama   yaitu   setan,   kemudian
melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji
melampiaskan  kebencian  dan  kemarahan  mereka  masing-masing
terhadap   musuh  yang  selama  ini  menjadi  penyebab  segala
kegetiran yang dialaminya.
 
Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol  yang
sangat  indah,  apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan
benar, maka pasti akan  mengantarkan  setiap  pelakunya  dalam
lingkungan  kemanusiaan  yang  benar  sebagaimana  dikehendaki
Allah. 
 
 
 
 
 
 
 
by http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/HajiQS.html
 

Sabtu, 12 Februari 2011

Induction coil

An induction coil or "spark coil" (archaically known as a Ruhmkorff coil after Heinrich Ruhmkorff) is a type of disruptive discharge coil. It is a type of electrical transformer used to produce high-voltage pulses from a low-voltage direct current (DC) supply. To create the flux changes necessary to induce voltage in the secondary, the direct current in the primary is repeatedly interrupted by a vibrating mechanical contact called an interrupter. Developed beginning in 1836 by Nicholas Callan and others, the induction coil was the first type of transformer.
The term 'induction coil' is also used for a coil carrying high-frequency alternating current (AC), producing eddy currents to heat objects placed in the interior of the coil, in induction heating or zone melting equipment.
Antique induction coil used in schools, Bremerhaven, Germany

Contents

[hide]

[edit] How it works

Induction coil showing construction, from 1920.
An induction coil consists of two coils of insulated copper wire wound around a common iron core. One coil, called the primary winding, is made from relatively few (tens or hundreds) turns of coarse wire. The other coil, the secondary winding, typically consists of many (thousands) turns of fine wire. An electric current is passed through the primary, creating a magnetic field. Because of the common core, most of the primary's magnetic field couples with the secondary winding. The primary behaves as an inductor, storing energy in the associated magnetic field. When the primary current is suddenly interrupted, the magnetic field rapidly collapses. This causes a high voltage pulse to be developed across the secondary terminals through electromagnetic induction. Because of the large number of turns in the secondary coil, the secondary voltage pulse is typically many thousands of volts. This voltage is often sufficient to cause an electrical discharge, or spark, to jump across an air gap separating the secondary's output terminals. For this reason, induction coils were called spark coils.
The size of induction coils was usually specified by the length of spark it could produce; an '8 inch' (20 cm) induction coil was one that could produce an 8 inch arc.

[edit] The interrupter

To operate the coil continuously, the DC supply current must be broken repeatedly to create the magnetic field changes needed for induction. Induction coils use a magnetically activated vibrating arm called an interrupter or break to rapidly connect and break the current flowing into the primary coil. The interrupters on small coils were mounted on the end of the coil next to the iron core. The magnetic field created by the current flowing in the primary attracts the interrupter's iron armature attached to a spring, breaking a pair of contacts in the primary circuit. When the magnetic field then collapses, the spring closes the contacts again, and the cycle repeats.
Opposite potentials are induced in the secondary when the interrupter 'breaks' the circuit and 'closes' the circuit. However, the current change in the primary is much more abrupt when the interrupter 'breaks'. When the contacts close, the current builds up slowly in the primary because the supply voltage has a limited ability to force current through the coil's inductance. In contrast, when the interrupter contacts open, the current falls to zero suddenly. So the pulse of voltage induced in the secondary at 'break' is much larger than the pulse induced at 'close', it is the 'break' that generates the coil's high voltage output. A "snubber" capacitor is used across the contacts to quench the arc on the 'break', which causes much faster switching and higher voltages. So the output waveform of an induction coil is a series of alternating positive and negative pulses, but with one polarity much larger than the other.

[edit] Mercury and electrolytic interrupters

The small 'hammer' interrupters described above were used on coils creating up to 8 inch (~120 kV) sparks. Larger coils used motor-driven interrupters.[1] The largest coils, used in radio transmitters, used either electrolytic or mercury turbine 'breaks'.

[edit] Construction details

To prevent the high voltages generated in the coil from breaking down the thin insulation and arcing between the secondary wires, the secondary coil uses special construction so as to avoid having wires carrying large voltage differences lying next to each other. The secondary coil is wound in many thin flat pancake-shaped sections (called "pies"), connected in series. The primary coil is first wound on the iron core, and insulated from the secondary with a thick paper or rubber coating. Then each secondary subcoil is coated with an insulating layer like paraffin, connected to the coil next to it, and slid onto the iron core, insulated from adjoining coils with paper disks. The voltage developed in each subcoil isn't large enough to jump between the wires in the subcoil. Large voltages are only developed across many subcoils in series, which are too widely separated to arc over.
To prevent eddy currents, which flow perpendicular to the magnetic axis, and cause energy losses, the iron core is made of a bundle of parallel iron wires, individually coated with shellac to insulate them electrically.

[edit] History

Callan's largest induction coil (Model of 1863), showing 'pancake' secondary construction. It was 42 inches (106 cm) long and could produce 15 inch (38 cm) sparks, corresponding to a potential of approximately 200,000 volts.
Michael Faraday discovered the principle of induction, Faraday's induction law, in 1831 and did the first experiments with induction between coils of wire.[2] The induction coil was invented by the Irish scientist and Catholic priest Nicholas Callan in 1836 at the St. Patrick's College, Maynooth[3][4] and improved by William Sturgeon and Charles Grafton Page. The early coils had hand cranked interrupters, invented by Callan and Antoine Masson. The automatic 'hammer' interrupter was invented by C. E. Neef, P. Wagner, and J. W. M'Gauley. Hippolyte Fizeau introduced the use of the quenching capacitor.[5] Heinrich Ruhmkorff generated higher voltages by greatly increasing the length of the secondary, in some coils using 5 or 6 miles (10 km) of wire. In the early 1850s, after examining an example of a Ruhmkorff coil, which produced a small spark of around 2 inches (50 mm) when energized, American inventor Edward Samuel Ritchie perceived that it could be made more efficient and produce a stronger spark by redesigning and improving its secondary insulation. His own design divided the coil into sections, each properly insulated from each other. Ritchie's induction coil proved superior to other designs of the day, initially producing a spark of 10 inches (25 cm) in length; later versions could produce an electrical bolt 24 inches (60 cm) or longer in length.[6][7] The full story of Page's invention of the induction coil in its modern guise is told in Robert Post, "Physics, Patents, and Politics: A Biography of Charles Grafton Page" (Science History Publications, 1976. In 1857, one of Ritchie's induction coils was exhibited in Dublin, Ireland at a conference of the British Association,[8] and later at the University of Edinburgh in Scotland.[9] Ruhmkorff himself purchased a Ritchie induction coil, utilizing its improvements in his own work.[10][11]
Induction coils were used to provide high voltage for early gas discharge and Crookes tubes and other high voltage research. They were also used to provide entertainment (lighting Geissler tubes, for example) and to drive small "shocking coils", Tesla coils and violet ray devices used in quack medicine. They were used by Hertz to demonstrate the existence of electromagnetic waves, as predicted by James Maxwell and by Lodge and Marconi in the first research into radio waves. Their largest industrial use was probably in early wireless telegraphy spark-gap radio transmitters and to power early cold cathode x-ray tubes. By about 1920 they were supplanted in both these applications by vacuum tubes. However their largest use was as the ignition coil or spark coil in the ignition system of internal combustion engines, where they are still used, although the interrupter contacts are now replaced by solid state switches. A smaller version is used to trigger the flash tubes used in cameras and strobe lights.
Automobile ignition coil, the largest remaining use for induction coils

[edit] Wireless charging

Toyota's heavy duty division, Hino Motors, is testing a new kind of hybrid electric vehicle without a plug (hybrid outboard chargeable vehicle). The energy in the batteries doesn't come from a plug and a charging point, but it comes from a wireless charging system built into the road. A series of induction coils built into the road resonate energy at certain frequency, like radio waves. The bus is able to capture those waves and store the energy in its batteries.[12]

[edit] Early patents




http://en.wikipedia.org/wiki/Induction_coil

ketulusan arti cinta

Saat bertemu dengan orang yang benar-benar engkau kasihi, berusahalah memperoleh kesempatan untuk bersamanya seumur hidupmu. Karena ketika dia telah pergi, segalanya telah terlambat. Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya. Karena seumur hidup manusia, teman sejati tak mudah ditemukan. Saat bertemu penolongmu, ingat untuk bersyukur padanya. Karena dia lah yang mengubah hidupmu. Saat bertemu orang yang pernah kau cintai, ingatlah dengan tersenyum untuk berterima-kasih. Karena ia lah orang yang membuatmu lebih mengerti tentang kasih. Saat bertemu orang yang pernah kau benci, sapalah dengan tersenyum. Karena ia membuatmu semakin teguh. Saat bertemu orang yang pernah diam-diam kau cintai, berkatilah dia. Karena saat kau mencintainya, bukankah berharap ia bahagia?
Begitulah juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang. Setelah ia mulai menyayangimu hendaklah kamu menjaga hatinya. Janganlah sesekali kamu meninggalkannya begitu saja. Karena ia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak dapat melupakan segalanya selagi dia mengingat. Begitu juga jika kamu memiliki seseorang, terimalah seadanya. Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan janganlah kamu menganggapnya begitu sempurna. Anggaplah ia manusia biasa. Apabila sekali ia melakukan kesilapan bukan mudah bagi kamu untuk menerimanya, akhirnya kamu kecewa dan meninggalkannya. Sedangkan jika kamu memaafkannya boleh jadi hubungan kamu akan terus hingga ke akhirnya. Jika kamu telah memiliki sepiring nasi, yang pasti baik untuk dirimu. Mengenyangkan, Berkhasiat. Mengapa kamu berlengah, coba mencari makanan yang lain. Terlalu ingin mengejar kelezatan. Kelak, nasi itu akan basi dan kamu tidak boleh memakannya. kamu akan menyesal.
Begitu juga jika kamu telah bertemu dengan seorang insan, yang membawa kebaikan kepada dirimu, menyayangimu, mengasihimu. Mengapa kamu berlengah, coba bandingkannya dengan yang lain. Terlalu mengejar kesempurnaan. Kelak, kamu akan kehilangannya. Apabila dia menjadi milik orang lain kamu juga akan menyesal. Manusiawi sekali kalau kita ingin dicintai. Cinta memang indah, menggairahkan dan mempesona. Namun kita tidak bisa meminta atau memaksa orang lain mencintai kita. Satu-satunya cara yang bijak untuk dicintai adalah dengan melupakan keinginan dicintai dan mulai mencintai.



http://motivationplannet.wordpress.com/2010/05/13/ketulusan-arti-cinta/

arti sahabat



SahabatKalau ada pertanyaan tentang apa sih arti seorang sahabat, coba baca ini :
Kamu tau arti sahabat, apa berbedaanya dengan teman ?
Sahabat adalah orang yang paling dipercaya, yang bisa diajak cerita tentang masalah kita, yang ada di saat kita butuh atau bahkan saat kita tidak butuhpun sahabat ada disamping kita untuk menemani kita. Seorang sahabat sejati sulit sekali untuk kita cari atau kita jumpai, karena mencari sabat sejati itu memang bener-bener sangat sulit.
Teman adalah seseorang yang kita kenal dan seseorang yang bisa kita jumpai disaat tertentu atau tidak selamanya kita jumpai. Mencari teman itu mudah bahkan sangat mudah, kita cuma menemui orang yang tidak kita kenal, lalu mengajaknya kenalan, ketika sudah kenal maka ia sudah bisa kita anggap sebagai teman.

Sahabat adalah seseorang yang kalau kita lagi sedih ia bisa membuat kita tersenyum sementara ketika kita senang dia akan lebih senang dari kita. Yap, rasanya nggak terlalau berlebihan kalau keberadaan seorang sahabat emang sangat istimewa, Ia menjadi zat penting yang memberi warna dalam kehidupan kita. So, punya sahabat bukan lagi sebuah keharusan melainkan kebutuhan, pasti anda setuju bukan? Nah buat kamu yang sampai detik ini belum menemukan seseorang yang cocok intuk menjadikan sahabat, coba deh lebih keras lagi berusaha mencarinya. Punya sahabat itu ga ada ruginya, malah akan lebih banyak rezeki he…, sebab sekali lagi sahabat membuat hari-hari anda akan lebih hidup dan bermakna. Ga percaya, kalo gitu coba deh baca point-point berikut, dijamin kamu akan termotivasi untuk mencari sebanyak-banyaknya. Itu pun kalau kamu bisa menyimaknya bukan sekadang baca doang.
Sahabat itu teman curhat, ngga ada istialh stress ketika dirundung masalah, seberat apapun masalah itu kalau kita punya sahabat. Dalam hal ini sahabat bisa menjadi tempat berbagi cerita, teman curhat, yang nyaman. Kita bisa ngungkapin semua perasaan kita selain kepada keluarga (kalau jauh dari keluarga) atau pacar (sebaiknya jangan) yaitu kepada sahabat kita. Sahabat itu adalah dewa penolong. Butuh bantuan, butuh pertolongan kenapa engga lari ke sahabat. Siapa tau dia bisa bantu, bisa kasih solusi, atau paling tidak sekedar opini. Tapi bukan berarti setiap masalah harus lari ke sahabat, yang paling baik dan utama adalah dengan menyelesaikannya dengan sendiri, baru ke keluarga terus orang terdekat yaitu sahabat dan tidak lupa minta kepada yang di atas. Belajar mandiri ceritanya.
Sahabat itu orang yang yambung diajak ngobrol, enak diajak diskusi, teman berbincang yang menyenangkan dan semua itu akan tercapai manakala kamu bisa saling mengenal kepribadiannnya masing-masing (takut orangnya suka ngomongin rahasia orang, gawat men…), Sahabat itu orang yang dengan kelapangan hatinya bisa mengerti kita, dengan keterbukaan tangannya bisa menerima kita apa adanya, tanpa pernah berusaha mempengaruhi apalagi mengubah keadaan kita.
Sahabat itu cermin bagi diri kita, rujukan tempat kita mengekspresikan diri. Sahabat itu seperti tubuh, bila tubuh kita salah satu sakit, maka yang lain akan merasa sakit. Misalnya kalau kaki kita terantuk batu, pasti dengan mulut refleks akan bilang “aduh”, tangan langsung mengusap dan mengobatinya, tanpa diminta dan tanpa disuruh, begitu juga seorang sahabat dia akan punya kesadaran diri kalau sahabatnya sedang dalam kesulitan, dan itu dilakukan atas dasar keikhlasan bukan paksaan apalagi pamrih, ya seperti tubuh kita yang sakit tadi.
Kalau begitu, siapa sahabat kamu?





by;http://supono.wordpress.com/2007/09/06/arti-sahabat/